Kamis, 16 Juni 2016

Embok Jamu

Balutan baju tradisional khas jawa tampak melekat pas di tubuhnya, sampai mletet (bahasa Jawa berarti ketat) masih disuguhi kain jarik setinggi lutut, akan mudah untuk melangkah cepat, pikirnya. "ting ting ting" suara botol bergesekan, mereka tampak senang diperlakukan istimewa, digendong, disatukan dengan kawan-kawan lainnya, bening dengan isi cairan berwarna-warni, cokelat, kuning, kuning susu, ada juga cairan bening di sana. Bunyinya makin lama makin nyaring saja di telinga, namun si embok tetap menikmati setiap moment di sepanjang hari ini. Tak terhitung berapa peluh air mengucur dari dahinya, namun ia tetap tersenyum.

Di sebuah angkot cukup lama ia merapikan dandanannya, kuperhatikan penumpang di sebelah kanan memandangnya dengan sinis, lenjeh (bahasa jawa berarti ganjen), kalo saja matanya bisa berbicara, mungkin si ibu bermata sinis ini akan berkata begitu. 


"Monggo mas, jamunya, mau?" 



"Mau dek." 


"Saya juga mau mbakyu." 


"Aku juga mau" dan tak ketinggalan saya pun membelinya. 


Senyum si embok semakin sumringah, senyum yang tulus, "tenanglah anakku , besok kamu bisa beli sepatu baru cah bagus, embok laku keras hari ini, alhamdulillah" aku mendengar suara hati dari senyum sumringahnya, kira-kira seperti ini bunyinya.

"stop stop mas, kulo mandap ten mriki (baca : saya turun di sini). 


Subhanallah, si embok jamu turun di sebuah masjid, lalu memasukinya.

Lenjeh-nya embok jamu masih sempet singgah ke masjid, masih merasa hamba yang harus mengadu, aku, kamu bagaimana?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar