Minggu, 12 Juni 2016

Liana

Chapter 1 : Arti Sahabat 



Senja di kotaku sore itu tak seperti biasanya, cahaya sang surya yang hampir tenggelam di ufuk barat tampak begitu merah, merah karena Sang Pencipta sedang menguji kita atau karena Dia sedang marah? Ataukah karena terlalu banyak darah yang tertumpah di sana? Wallahu 'alam, hanya Dia yang tahu jawabnya.

Di tenda-tenda pengungsian yang penuh dengan korban gempa itu, terlihat sesosok wanita berpostur tinggi sedang berdiri di sana, ia tampak cantik dengan kerudung putihnya, Liana namanya, matanya yang sayu menatap ke arah langit dengan penuh harap, tanpa terasa ada bulir bening mengalir dari sana.


Ya Allah, aku merindukan mereka. Aku sungguh merindukannya, huft.

 Ia menarik nafas panjang dan mencoba menyeka air matanya.

 Ya Allah, Ya Robb, berilah aku kekuatan untuk menghadapi ini semua, hingga cobaan ini yang akan menyerah kalah padaku. Dari dulu aku tak punya siapapun, jadi aku yakin pasti bisa menghadapinya. 
 
Ada semburat senyum yang tiba-tiba keluar dari bibir mungilnya, senyum yang mungkin tak seindah biasanya dan mungkin takkan pernah lagi karena senyum itu telah terbawa pergi bersama dengan kepergian dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya.
Sejenak ia merenung dan mencoba membuka kembali kenangan lama, catatan terindah dalam hidupnya.


*****************************


"Huft! Capeknyaaa, akhirnya selesai juga, mudah-mudahan aku diterima" ucap Liana lirih seraya menghapus peluh yang sejak tadi menetes dari dahinya dan merapikan kembali rambutnya yang panjang dengan jepit warna pink kesukaannya. Ia mengambil sesuatu dari sakunya,"ya elah, uangku tinggal gopek. Cukup nggak ya buat telpon? Mudah-mudahan aja cukup."

"Tuut tuuut tuuuuuut...assalamu'alaikum, Dewi ada Bu?" suara Liana di telepon umum tampak tergesa-gesa.

"Wa'alaikum salam, Liana ya? Iya ada, sebentar ya, ibu panggilkan" jawab orang tua Dewi.

"Wah si Ibu kelamaan lagi, bisa putus entar teleponnya", gerutu Liana sambil menggerak-gerakkan kabel telpon dengan jari-jemari tangannya.

Tak lama kemudian, terdengar suara Dewi di telepon, "Hai cantik, ada apa nih? Tumben baru dua hari sudah telepon, sudah habis semua kuenya?”

"Alhamdulillah Dew, sudah laku semua. Aku kan tadi ikut test CPNS, sekalian aku manfaatin waktunya, aku jualan kue di sana dan hasilnya di luar dugaan, kue buatan kita laku semua!" Tegas Liana girang "nanti sore kita bikin lagi ya? Kamu ada waktu?"

"Hah, masa sih? Hebat...hebat. Dasar Liana, nggak pernah kehabisan akal, ada saja idenya!"

"Eh, sudah dulu ya, teleponnya mau putus nih, uangku cuma gopek, hee..."

"Lho, kamu kan bisa pake uang hasil jualan itu Na', gitu aja kok repot!"

"Nggak ah...aku nggak akan pakai uang itu sebelum kamu melihatnya dan kita bagi keuntungannya menjadi dua, insya Allah uangnya aman bersamaku dan aku nggak akan menyentuhnya" Liana mencoba meyakinkan teman baiknya.

"Ck...ck...ck...OK dech Bu, entar sore aku jemput, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

"Fuih! Jakartaku tersayang, kapan sih hujan? Terik bangeeeeet!"

Liana berjalan meninggalkan telepon umum dan kembali ke rumahnya, ia tinggal di sebuah panti asuhan sederhana bernama KASIH BUNDA yang terletak di Jakarta Pusat, ada sepuluh orang yang tinggal di sana, delapan adek angkatnya, bunda kesayangannya, dan Liana.

"Assalamu'alaikum...."

"Wa'alaikum salam" jawab seorang ibu tua yang berwajah ramah, ia menatap Liana dengan tatapan sayang "gimana test-nya? Bisa?”

"Alhamdulillah bunda, agak rumit memang tapi insya Allah bisa, bunda doain Liana ya?"

"Insya Allah, doa bunda akan selalu beserta kalian, anak-anak bunda yang cantik-cantik dan baik hati"

"Makasih ya Bunda, Liana sayang banget sama bunda" ucap Liana seraya memeluk bundanya.

"Bunda juga sayang Liana" bunda pun tersenyum sambil membalas pelukan Liana.



Sore harinya, Dewi pun memenuhi janjinya, jam 4 tepat, ia sampai di rumah Liana.

"Assalamu'alaikum bunda, Liana ada?" tanya Dewi pada pemilik panti itu.

"Hai prend, i'm here and i'm ready, let's go!"

"Bunda, pergi dulu yah, assalamu'alikum, dadah bunda", ucap Liana seraya melambaikan tangannya.

"Wa'alaikum salam, hati-hati di jalan, nggak usah ngebut-ngebut ya?" jawab nunda

"Ndreen....ndreeen....ndreeeennnn" suara sepeda motor mengiringi kepergian dua cewek cantik berambut panjang itu.

"Lho lho lho, kok arahnya nggak ke rumahmu Dew, emang mau kemana kita?" tanya Liana bingung.

"Kita ke tempat biasa dulu, aku laper...tenang aja, aku yang traktir!" ucap Dewi tersenyum menenangkan Liana.

Ya Allah, terimakasih atas kasih sayangMu, terimakasih karena Engkau telah memberikan sahabat yang begitu baik untukku, semoga suatu saat nanti aku bisa membalas semua kebaikannya, aamiin.

"Kenape neng? Ngapain liatin ane sambil senyum-senyum gitu? Hii ngeri amir!" ucap Dewi dengan logat Betawinya.

"Tenang aje neng, ane masih normal kok, kagak nape-nape. Don't worry Si Amir dah jinak, jadi kagak ngeri lagi. Yang ngeri tinggal si Dogi, anjing di rumahmu ntu. Inget kagak neng, ane kan pernah dikejar-kejar ntu anjing ampe ane lari-lari muterin perumahan gara-gara rantainya lepas?" balas Liana yang tak mau kalah dengan logat Betawinya.

"Iye-iye...ane inget banget!"

"Huahahahaha hahaha...."

Tawa mereka seolah memecah suasana Jakarta, suasana yang khas dengan gedung-gedung pencakar langitnya, kemacetannya, polusi udaranya, juga tak jarang dengan preman-preman dan anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatannya.

Setelah 15 menit perjalanan, sampailah mereka di sebuah rumah makan Padang yang cukup terkenal di daerah itu karena harganya yang miring dan kualitasnya yang tak kalah dengan restoran berkelas lainnya.

Usai makan, mereka kembali meneruskan perjalanannya ke tujuan semula, ke rumah Dewi, sebuah perumahan elit yang terletak di kawasan Jakarta Pusat.

Mereka menghabiskan waktu di sana, hingga tak terasa dua jam pun berlalu dengan cepatnya.



Suara adzan maghrib bergema mengiringi kepulangan Liana.

"Makasih kuenya Dew, bener nih gratis?" tanya Liana.

"Iya itu buat anak-anak, semoga mereka suka ya Na' " jawab Dewi berharap.

"Pasti suka, kue buatan kita kan ga ada tandingannya, nomor 1 di dunia. Aku beruntung sekali memilikimu Dew, kamu baik sekali. Kamu juga sering membantu kami, bahkan sudah tak terhitung, semoga Allah selalu melindungimu" mata Liana berkaca-kaca.

"Amiin amiiin, makasih doanya tapi buat sahabat, nggak ada istilah hitung-menghitung, apalagi balas budi. Asalkan kamu bahagia, aku juga akan bahagia, kamu lupa ya? Kamulah yang nolongin aku dua tahun yang lalu saat aku terpuruk, kamu yang selalu di sisiku saat semua orang menjauhiku, kamulah yang ada di sana untukku, menasihatiku dan memberiku semangat. Aku takkan pernah melupakan saat-saat itu...aku pulang dulu ya Na', dah..."

Dewi pun pergi sambil melambaikan tangannya.

"Assalamu'alaikum, kok sepi ya? Pada kemana nih? Hmm...mending aku ke kamar dulu ah, habis sholat Maghrib, baru aku kasih ke mereka, pasti mereka suka."

Namun Liana mengurungkan niatnya setelah mendengar tangisan Nisa, gadis kecil berusia tujuh tahun yang berambut ikal dan berlesung pipi itu. Ia juga sempat mendengar suara Bunda yang sedang mencoba menenangkannya. Perlahan ia menuju ke kamar Nisa dan menguping pembicaraan mereka.

"Nisa yang sabar ya, insya Allah bulan depan Bunda beliin tasnya, tapi kalau sekarang Bunda belum bisa sayang."

"Tapi tasnya kan robek Bunda, nggak mau ah!" Nisa merengek.

"Kan bisa dijahit, nanti Bunda jahitkan ya?" bujuk Bunda pada Nisa.

"Nggak mau! Kemarin kan dah dijahit, terus robek lagi, masa' mau dijahit lagi? Pokoknya nggak mau!" Nisa masih tetap merengek.

Ya Allah, kasihan sekali adek kecilku, bagaimana mungkin aku bisa bersenang-senang di atas kesedihannya? Aku sholat dulu ah, habis itu aku mau ngomong sama Bunda.

Seusai sholat Maghrib, Liana menghampiri adek-adeknya, ia memberikan kue Brownies pemberian Dewi yang mereka buat bersama-sama tadi sore. Wajah anak-anak itu tampak kegirangan. Bahkan ada yang sampai tersedak karena terlalu girangnya mereka makan sambil bicara.

Selesai membagikan kue, Liana pergi menghampiri Bundanya di ruang tamu. Wanita berusia lima puluh tahun itu sedang menjahit dengan tangannya, tas milik Nisa yang robek tadi.

"Bunda lagi ngapain?" tanya Liana.

"Ini, lagi jahit tasnya Nisa, robek lagu, mungkin jahitan Bunda kurang kenceng kali ya? Jadi robek lagi." Bunda mencoba tertawa "tapi kali ini pasti nggak kan robek, karena sudah Bunda kencengin jahitannya."

"Ini ada kue buat Bunda..."ucap Liana seraya membawa piring kecil berisi brownies keju untuk Bundanya.

"Pasti dari Dewi lagi ya?" tebak Bunda "anak itu seperti anak ajaib yang di kirim Tuhan buat kita, tiap awal bulan ia selalu memberikan bantuan dana kepada kita dan ia juga tak pernah lupa memberikan kue-kue yang mahal ini untuk anak-anak, semoga Allah selalu melindunginnya, menambah rezekinya, memberikan kesehatan serta umur panjang padanya."

"Amiin aamiin."

Liana merogoh sesuatu dari sakunya, mengambil sebuah amplop, dan memberikan kepada Bundanya. "ini buat Bunda..."

Bunda terkejut melihat amplop itu dan berkata "apa ini Liana, kenapa buat Bunda?" Bunda membuka amplop itu..."uang 100 ribu ini pasti hasil jualanmu tadi siang ya?" tanya Bunda lagi.

"Bunda nggak mau menerimanya, ini adalah hasil usahamu, Liana tabung saja, insya Allah Bunda masih punya uang cukup sampai akhir bulan ini" ujar Bunda menenangkan Liana.

"Uang itu buat beli tas baru untuk Nisa, Bunda...kasihan dia, pasti banyak teman-temannya yang mengejeknya karena tasnya sudah robek-robek, kalau masalah nabung, bisa lain kali, Liana mohon jangan ditolak."

"Betul nggak apa-apa?" tanya Bunda meyakinkan Liana "kalau gitu Bunda setuju tapi dengan satu syarat, nanti sisa uangnya Bunda kembalikan lagi ke Liana buat ditabung, gimana?"

"Bundaku memang paling baiiiiik sedunia, ya sudah, Liana setuju" jawab Liana mengakhiri pembicaraan mereka.

Begitulah gambaran kehidupan di sana, Allah-lah yang mempersatukan hati mereka, dari yang tak tahu satu sama lain, tak kenal satu sama lain, bisa menjadi satu keluarga, satu saudara, yang begitu kuat. Bila ada satu saja yang menderita, maka yang lain akan merasakannya dan berusaha untuk menolongnya.



Hari berganti, waktu berlalu, bulan pun berjalan namun sang mentari tetap setia memberikan sinarnya, angin juga tak pernah lelah dengan perannya, memberikan O2 untuk manusia dan seluruh makhluk hidup di dunia, dimana dan kapan saja, baik secara sadar atau pun tidak, kebesaran Allah SWT selalu bisa dirasakan oleh hamba-hamba-Nya. Hanya saja, manusia terkadang suka mengeluh dan seringkali putus asa, sehingga lupa untuk mensyukuri segala nikmat dan karuniaNya.

Siang itu adalah hari yang ditunggu-tunggu Liana, hari dimana segalanya akan berbeda, hari dimana Liana akan memulai kehidupan barunya di perantauan.

"Mana ya namaku? Kenapa nggak ada?" sambil garuk-garuk kepala, Liana mencari-cari namanya di Surat Kabar "mungkin aku nggak diterima kali ya?"

"Hush, jangan pesimis gitu dong, orang belum dicari semuanya" tukas Dewi "aku nggak percaya kamu nggak diterima, empat tahun kuliah gratis karena dapat beasiswa, itu sudah cukup membuktikan kecerdasanmu dan semua kerja kerasmu selama ini."

"Dew, liat deh, itu namaku bukan ya?" jari Liana menunjuk ke kolom Surat Kabar di pojok kiri atas dan di sana memang tertera namanya dengan jelas "iya Dew, ini namaku dan ini juga nomor kartuku waktu test kemarin, aku diterima! Subhanallah,,,,alhamdulillahirobbil'alamiin..."

"Alhamdulillah Na' akhirnya kamu diterima, akhirnya kamu bisa ke Padang, kota yang selalu kamu rindukan" Dewi ikut merasakan kebahagiaan Liana.

Mereka berdua loncat-loncat kegirangan sambil berpelukan seolah tak menghiraukan keramaian di sekitarnya.

Liana pun bergegas menemui Bundanya yang berada di teras sebelah rumah.

"Bunda bunda, sini deh, Liana ada kabar baik buat Bunda..."

"Ada apa Liana, sepertinya girang sekali, bunda ada di belakang" kata Bunda Maya, seorang pengurus panti baru yang sudah bekerja sejak setengah bulan lalu.

Liana bergegas menuju taman belakang, di sana ia melihat Bundanya yang sedang menyiram bunga anggrek putih kesayangannya.

"Bunda, coba deh lihat ini, Liana diterima Bunda..."

"Alhamdulillahirobbil'alamiin, bunda ikut senang mendengarnya tapi kenapa wajahmu murung? Bukankah seharusnya Liana bahagia..." tanya Bunda dengan muka menyelidik.

"Liana khawatir dengan panti ini Bunda, bagaimana nanti kalau Liana harus pergi, Bunda pasti kerepotan" jelas Liana.

"Sekarang sudah ada Bunda Maya, Liana, jadi Liana nggak usah khawatir, Liana pergi saja, raih cita-citamu. Menjadi seorang guru adalah tujuan yang mulia, Liana sudah diberi kesempatan olehNya, jadi harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, mengerti?" Bunda menasehati Liana.

"He em mengerti Bunda, insya Allah besok atau lusa Liana berangkat, Bunda doain Liana ya, agar semuanya lancar di sana" ucap Liana "Bunda adalah orang yang paling berharga buat Liana, meskipun Liana tak pernah tahu seperti apa orang tua kandung Liana, tapi Liana yakin bunda pasti lebih baik dari mereka karena bunda tak pernah meninggalkan Liana seperti apa yang mereka lakukan!"

"Astaghfirullahal'adhiim, Liana, Sudah berapa kali Bunda ingatkan jangan berburuk sangka pada orang tua kita, apapun yang mereka lakukan, pasti ada alasannya...itu pasti untuk kebaikan Liana, mengerti."

"Maaf Bunda, Liana lupa, Liana akan berusaha Bunda, Liana juga janji, kalau Liana sudah bekerja nanti, Liana akan mengirim uang untuk panti ini."

Keesokan harinya, setelah berpamitan dengan Bundanya, adek-adeknya, dan sahabat terbaiknya, Liana pun pergi meninggalkan kota tercintanya, menuju ke sebuah kota di pulau Sumatera, kota yang sangat diidamkannya.



TO BE CONTINUED

Tidak ada komentar:

Posting Komentar