Balutan baju tradisional khas jawa tampak melekat pas di tubuhnya,
sampai mletet (bahasa Jawa berarti ketat) masih disuguhi kain jarik
setinggi lutut, akan mudah untuk melangkah cepat, pikirnya. "ting ting
ting" suara botol bergesekan, mereka tampak senang diperlakukan
istimewa, digendong, disatukan dengan kawan-kawan lainnya, bening dengan
isi cairan berwarna-warni, cokelat,
kuning, kuning susu, ada juga cairan bening di sana. Bunyinya makin lama
makin nyaring saja di telinga, namun si embok tetap menikmati setiap
moment di sepanjang hari ini. Tak terhitung berapa peluh air mengucur
dari dahinya, namun ia tetap tersenyum.
Di sebuah angkot cukup lama ia merapikan dandanannya, kuperhatikan
penumpang di sebelah kanan memandangnya dengan sinis, lenjeh (bahasa
jawa berarti ganjen), kalo saja matanya bisa berbicara, mungkin si ibu
bermata sinis ini akan berkata begitu.
"Monggo mas, jamunya, mau?"
"Mau dek."
"Saya juga mau mbakyu."
"Aku juga mau" dan tak ketinggalan saya pun membelinya.
Senyum si embok semakin sumringah, senyum yang tulus, "tenanglah anakku , besok kamu bisa beli sepatu baru cah bagus, embok laku keras hari
ini, alhamdulillah" aku mendengar suara hati dari senyum sumringahnya,
kira-kira seperti ini bunyinya.
"stop stop mas, kulo mandap ten mriki (baca : saya turun di sini).
Subhanallah, si embok jamu turun di sebuah masjid, lalu memasukinya.
Lenjeh-nya embok jamu masih sempet singgah ke masjid, masih merasa hamba yang harus mengadu, aku, kamu bagaimana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar