Chapter
1 : Arti Sahabat
Senja di kotaku sore itu tak seperti biasanya, cahaya sang surya yang hampir
tenggelam di ufuk barat tampak begitu merah, merah karena Sang Pencipta sedang
menguji kita atau karena Dia sedang marah? Ataukah karena terlalu banyak darah
yang tertumpah di sana? Wallahu 'alam, hanya Dia yang tahu jawabnya.
Di tenda-tenda pengungsian yang penuh dengan korban gempa itu, terlihat
sesosok wanita berpostur tinggi sedang berdiri di sana, ia tampak cantik dengan
kerudung putihnya, Liana namanya, matanya yang sayu menatap ke arah langit
dengan penuh harap, tanpa terasa ada bulir bening mengalir dari sana.
Ya Allah, aku merindukan mereka. Aku sungguh merindukannya, huft.
Ia menarik nafas panjang dan mencoba menyeka air matanya.
Ya Allah, Ya Robb, berilah aku
kekuatan untuk menghadapi ini semua, hingga cobaan ini yang akan menyerah kalah
padaku. Dari dulu aku tak punya siapapun, jadi aku yakin pasti bisa
menghadapinya.
Ada semburat senyum yang tiba-tiba keluar dari bibir mungilnya, senyum yang
mungkin tak seindah biasanya dan mungkin takkan pernah lagi karena senyum itu
telah terbawa pergi bersama dengan kepergian dua orang yang sangat berarti
dalam hidupnya.
Sejenak ia merenung dan mencoba membuka kembali kenangan lama, catatan
terindah dalam hidupnya.
*****************************
"Huft! Capeknyaaa, akhirnya selesai juga, mudah-mudahan aku
diterima" ucap Liana lirih seraya menghapus peluh yang sejak tadi menetes dari
dahinya dan merapikan kembali rambutnya yang panjang dengan jepit warna pink
kesukaannya. Ia mengambil sesuatu dari sakunya,"ya elah, uangku tinggal
gopek. Cukup nggak ya buat telpon? Mudah-mudahan aja cukup."
"Tuut tuuut tuuuuuut...assalamu'alaikum, Dewi ada Bu?" suara
Liana di telepon umum tampak tergesa-gesa.
"Wa'alaikum salam, Liana ya? Iya ada, sebentar ya, ibu panggilkan"
jawab orang tua Dewi.
"Wah si Ibu kelamaan lagi, bisa putus entar teleponnya", gerutu
Liana sambil menggerak-gerakkan kabel telpon dengan jari-jemari tangannya.
Tak lama kemudian, terdengar suara Dewi di telepon, "Hai cantik, ada
apa nih? Tumben baru dua hari sudah telepon, sudah habis semua kuenya?”
"Alhamdulillah Dew, sudah laku semua. Aku kan tadi ikut test CPNS,
sekalian aku manfaatin waktunya, aku jualan kue di sana dan hasilnya di
luar dugaan, kue buatan kita laku semua!" Tegas Liana girang "nanti
sore kita bikin lagi ya? Kamu ada waktu?"
"Hah, masa sih? Hebat...hebat. Dasar Liana, nggak pernah kehabisan
akal, ada saja idenya!"
"Eh, sudah dulu ya, teleponnya mau putus nih, uangku cuma gopek, hee..."
"Lho, kamu kan bisa pake uang hasil jualan itu Na', gitu aja kok
repot!"
"Nggak ah...aku nggak akan pakai uang itu sebelum kamu melihatnya dan
kita bagi keuntungannya menjadi dua, insya Allah uangnya aman bersamaku dan aku
nggak akan menyentuhnya" Liana mencoba meyakinkan teman baiknya.
"Ck...ck...ck...OK dech Bu, entar sore aku jemput, assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
"Fuih! Jakartaku tersayang, kapan sih hujan? Terik bangeeeeet!"
Liana berjalan meninggalkan telepon umum dan kembali ke rumahnya, ia tinggal
di sebuah panti asuhan sederhana bernama KASIH BUNDA yang terletak di Jakarta
Pusat, ada sepuluh orang yang tinggal di sana, delapan adek angkatnya, bunda
kesayangannya, dan Liana.
"Assalamu'alaikum...."
"Wa'alaikum salam" jawab seorang ibu tua yang berwajah ramah, ia
menatap Liana dengan tatapan sayang "gimana test-nya? Bisa?”
"Alhamdulillah bunda, agak rumit memang tapi insya Allah bisa, bunda
doain Liana ya?"
"Insya Allah, doa bunda akan selalu beserta kalian, anak-anak bunda
yang cantik-cantik dan baik hati"
"Makasih ya Bunda, Liana sayang banget sama bunda" ucap Liana
seraya memeluk bundanya.
"Bunda juga sayang Liana" bunda pun tersenyum sambil membalas
pelukan Liana.
Sore harinya, Dewi pun memenuhi janjinya, jam 4 tepat, ia sampai di rumah
Liana.
"Assalamu'alaikum bunda, Liana ada?" tanya Dewi pada pemilik panti
itu.
"Hai prend, i'm here and i'm ready, let's go!"
"Bunda, pergi dulu yah, assalamu'alikum, dadah bunda", ucap Liana
seraya melambaikan tangannya.
"Wa'alaikum salam, hati-hati di jalan, nggak usah ngebut-ngebut
ya?" jawab nunda
"Ndreen....ndreeen....ndreeeennnn" suara sepeda motor mengiringi
kepergian dua cewek cantik berambut panjang itu.
"Lho lho lho, kok arahnya nggak ke rumahmu Dew, emang mau kemana
kita?" tanya Liana bingung.
"Kita ke tempat biasa dulu, aku laper...tenang aja, aku yang
traktir!" ucap Dewi tersenyum menenangkan Liana.
Ya Allah, terimakasih atas kasih
sayangMu, terimakasih karena Engkau telah memberikan sahabat yang begitu baik
untukku, semoga suatu saat nanti aku bisa membalas semua kebaikannya, aamiin.
"Kenape neng? Ngapain liatin ane sambil senyum-senyum gitu? Hii
ngeri amir!" ucap Dewi dengan logat Betawinya.
"Tenang aje neng, ane masih normal kok, kagak nape-nape. Don't worry Si
Amir dah jinak, jadi kagak ngeri lagi. Yang ngeri tinggal si Dogi, anjing di
rumahmu ntu. Inget kagak neng, ane kan pernah dikejar-kejar ntu anjing ampe ane
lari-lari muterin perumahan gara-gara rantainya lepas?" balas Liana yang
tak mau kalah dengan logat Betawinya.
"Iye-iye...ane inget banget!"
"Huahahahaha hahaha...."
Tawa mereka seolah memecah suasana Jakarta, suasana yang khas dengan gedung-gedung
pencakar langitnya, kemacetannya, polusi udaranya, juga tak jarang dengan
preman-preman dan anak-anak jalanan yang tinggal di kolong jembatannya.
Setelah 15 menit perjalanan, sampailah mereka di sebuah rumah makan Padang
yang cukup terkenal di daerah itu karena harganya yang miring dan kualitasnya
yang tak kalah dengan restoran berkelas lainnya.
Usai makan, mereka kembali meneruskan perjalanannya ke tujuan semula, ke
rumah Dewi, sebuah perumahan elit yang terletak di kawasan Jakarta Pusat.
Mereka menghabiskan waktu di sana, hingga tak terasa dua jam pun berlalu
dengan cepatnya.
Suara adzan maghrib bergema mengiringi kepulangan Liana.
"Makasih kuenya Dew, bener nih gratis?" tanya Liana.
"Iya itu buat anak-anak, semoga mereka suka ya Na' " jawab Dewi
berharap.
"Pasti suka, kue buatan kita kan ga ada tandingannya, nomor 1 di dunia.
Aku beruntung sekali memilikimu Dew, kamu baik sekali. Kamu juga sering
membantu kami, bahkan sudah tak terhitung, semoga Allah selalu
melindungimu" mata Liana berkaca-kaca.
"Amiin amiiin, makasih doanya tapi buat sahabat, nggak ada istilah
hitung-menghitung, apalagi balas budi. Asalkan kamu bahagia, aku juga akan
bahagia, kamu lupa ya? Kamulah yang nolongin aku dua tahun yang lalu saat aku
terpuruk, kamu yang selalu di sisiku saat semua orang menjauhiku, kamulah yang
ada di sana untukku, menasihatiku dan memberiku semangat. Aku takkan pernah
melupakan saat-saat itu...aku pulang dulu ya Na', dah..."
Dewi pun pergi sambil melambaikan tangannya.
"Assalamu'alaikum, kok sepi ya? Pada kemana nih? Hmm...mending aku ke
kamar dulu ah, habis sholat Maghrib, baru aku kasih ke mereka, pasti mereka
suka."
Namun Liana mengurungkan niatnya setelah mendengar tangisan Nisa,
gadis kecil berusia tujuh tahun yang berambut ikal dan berlesung pipi itu. Ia
juga sempat mendengar suara Bunda yang sedang mencoba menenangkannya. Perlahan
ia menuju ke kamar Nisa dan menguping pembicaraan mereka.
"Nisa yang sabar ya, insya Allah bulan depan Bunda beliin tasnya, tapi
kalau sekarang Bunda belum bisa sayang."
"Tapi tasnya kan robek Bunda, nggak mau ah!" Nisa merengek.
"Kan bisa dijahit, nanti Bunda jahitkan ya?" bujuk Bunda pada
Nisa.
"Nggak mau! Kemarin kan dah dijahit, terus robek lagi, masa' mau
dijahit lagi? Pokoknya nggak mau!" Nisa masih tetap merengek.
Ya Allah, kasihan sekali adek kecilku,
bagaimana mungkin aku bisa bersenang-senang di atas kesedihannya? Aku sholat
dulu ah, habis itu aku mau ngomong sama Bunda.
Seusai sholat Maghrib, Liana menghampiri adek-adeknya, ia memberikan kue
Brownies pemberian Dewi yang mereka buat bersama-sama tadi sore. Wajah anak-anak
itu tampak kegirangan. Bahkan ada yang sampai tersedak karena terlalu girangnya
mereka makan sambil bicara.
Selesai membagikan kue, Liana pergi menghampiri Bundanya di ruang tamu.
Wanita berusia lima puluh tahun itu sedang menjahit dengan tangannya, tas milik
Nisa yang robek tadi.
"Bunda lagi ngapain?" tanya Liana.
"Ini, lagi jahit tasnya Nisa, robek lagu, mungkin jahitan Bunda kurang
kenceng kali ya? Jadi robek lagi." Bunda mencoba tertawa "tapi kali
ini pasti nggak kan robek, karena sudah Bunda kencengin jahitannya."
"Ini ada kue buat Bunda..."ucap Liana seraya membawa piring kecil
berisi brownies keju untuk Bundanya.
"Pasti dari Dewi lagi ya?" tebak Bunda "anak itu seperti anak
ajaib yang di kirim Tuhan buat kita, tiap awal bulan ia selalu memberikan
bantuan dana kepada kita dan ia juga tak pernah lupa memberikan kue-kue yang
mahal ini untuk anak-anak, semoga Allah selalu melindunginnya, menambah rezekinya,
memberikan kesehatan serta umur panjang padanya."
"Amiin aamiin."
Liana merogoh sesuatu dari sakunya, mengambil sebuah amplop, dan memberikan
kepada Bundanya. "ini buat Bunda..."
Bunda terkejut melihat amplop itu dan berkata "apa ini Liana, kenapa
buat Bunda?" Bunda membuka amplop itu..."uang 100 ribu ini pasti
hasil jualanmu tadi siang ya?" tanya Bunda lagi.
"Bunda nggak mau menerimanya, ini adalah hasil usahamu, Liana tabung
saja, insya Allah Bunda masih punya uang cukup sampai akhir bulan ini"
ujar Bunda menenangkan Liana.
"Uang itu buat beli tas baru untuk Nisa, Bunda...kasihan dia, pasti
banyak teman-temannya yang mengejeknya karena tasnya sudah robek-robek, kalau
masalah nabung, bisa lain kali, Liana mohon jangan ditolak."
"Betul nggak apa-apa?" tanya Bunda meyakinkan Liana "kalau
gitu Bunda setuju tapi dengan satu syarat, nanti sisa uangnya Bunda kembalikan
lagi ke Liana buat ditabung, gimana?"
"Bundaku memang paling baiiiiik sedunia, ya sudah, Liana setuju"
jawab Liana mengakhiri pembicaraan mereka.
Begitulah gambaran kehidupan di sana, Allah-lah yang mempersatukan hati
mereka, dari yang tak tahu satu sama lain, tak kenal satu sama lain, bisa
menjadi satu keluarga, satu saudara, yang begitu kuat. Bila ada satu saja yang
menderita, maka yang lain akan merasakannya dan berusaha untuk menolongnya.
Hari berganti, waktu berlalu, bulan pun berjalan namun sang mentari tetap
setia memberikan sinarnya, angin juga tak pernah lelah dengan perannya,
memberikan O2 untuk manusia dan seluruh makhluk hidup di dunia, dimana dan
kapan saja, baik secara sadar atau pun tidak, kebesaran Allah SWT selalu bisa
dirasakan oleh hamba-hamba-Nya. Hanya saja, manusia terkadang suka mengeluh dan
seringkali putus asa, sehingga lupa untuk mensyukuri segala nikmat dan
karuniaNya.
Siang itu adalah hari yang ditunggu-tunggu Liana, hari dimana segalanya akan
berbeda, hari dimana Liana akan memulai kehidupan barunya di perantauan.
"Mana ya namaku? Kenapa nggak ada?" sambil garuk-garuk kepala,
Liana mencari-cari namanya di Surat Kabar "mungkin aku nggak diterima kali
ya?"
"Hush, jangan pesimis gitu dong, orang belum dicari semuanya"
tukas Dewi "aku nggak percaya kamu nggak diterima, empat tahun kuliah
gratis karena dapat beasiswa, itu sudah cukup membuktikan kecerdasanmu dan
semua kerja kerasmu selama ini."
"Dew, liat deh, itu namaku bukan ya?" jari Liana menunjuk ke kolom
Surat Kabar di pojok kiri atas dan di sana memang tertera namanya dengan jelas
"iya Dew, ini namaku dan ini juga nomor kartuku waktu test kemarin, aku
diterima! Subhanallah,,,,alhamdulillahirobbil'alamiin..."
"Alhamdulillah Na' akhirnya kamu diterima, akhirnya kamu bisa ke
Padang, kota yang selalu kamu rindukan" Dewi ikut merasakan kebahagiaan
Liana.
Mereka berdua loncat-loncat kegirangan sambil berpelukan seolah tak
menghiraukan keramaian di sekitarnya.
Liana pun bergegas menemui Bundanya yang berada di teras sebelah rumah.
"Bunda bunda, sini deh, Liana ada kabar baik buat Bunda..."
"Ada apa Liana, sepertinya girang sekali, bunda ada di belakang"
kata Bunda Maya, seorang pengurus panti baru yang sudah bekerja sejak setengah
bulan lalu.
Liana bergegas menuju taman belakang, di sana ia melihat Bundanya yang
sedang menyiram bunga anggrek putih kesayangannya.
"Bunda, coba deh lihat ini, Liana diterima Bunda..."
"Alhamdulillahirobbil'alamiin, bunda ikut senang mendengarnya tapi
kenapa wajahmu murung? Bukankah seharusnya Liana bahagia..." tanya Bunda
dengan muka menyelidik.
"Liana khawatir dengan panti ini Bunda, bagaimana nanti kalau Liana
harus pergi, Bunda pasti kerepotan" jelas Liana.
"Sekarang sudah ada Bunda Maya, Liana, jadi Liana nggak usah
khawatir, Liana pergi saja, raih cita-citamu. Menjadi seorang guru adalah
tujuan yang mulia, Liana sudah diberi kesempatan olehNya, jadi harus
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, mengerti?" Bunda menasehati Liana.
"He em mengerti Bunda, insya Allah besok atau lusa Liana berangkat,
Bunda doain Liana ya, agar semuanya lancar di sana" ucap Liana "Bunda
adalah orang yang paling berharga buat Liana, meskipun Liana tak pernah tahu
seperti apa orang tua kandung Liana, tapi Liana yakin bunda pasti lebih baik
dari mereka karena bunda tak pernah meninggalkan Liana seperti apa yang mereka
lakukan!"
"Astaghfirullahal'adhiim, Liana, Sudah berapa kali Bunda ingatkan jangan
berburuk sangka pada orang tua kita, apapun yang mereka lakukan, pasti ada
alasannya...itu pasti untuk kebaikan Liana, mengerti."
"Maaf Bunda, Liana lupa, Liana akan berusaha Bunda, Liana juga janji,
kalau Liana sudah bekerja nanti, Liana akan mengirim uang untuk panti
ini."
Keesokan harinya, setelah berpamitan dengan Bundanya, adek-adeknya, dan
sahabat terbaiknya, Liana pun pergi meninggalkan kota tercintanya, menuju ke
sebuah kota di pulau Sumatera, kota yang sangat diidamkannya.
TO BE CONTINUED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar